PAGE

Rabu, 18 Mei 2011

Adat istiadat yg membelenggu


KEBUDAYAAN SUKU BADUY


Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka.

Kelompok tangtu (baduy dalam).
suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu'un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
* Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar),
mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah.
* Kelompok Baduy Dangka,
mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).

Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.

Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri.
“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung”
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)


suku Baduy memiliki tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku sebagai pemimpinnya yang disebut Puun berjumlah tiga orang. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan dilaksanakan oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap jaro memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampong

KESIMPULAN:
Suku baduy sangat tertutup dengan dunia luar, terdapat banyak sekali larangan di dalam suku ini yang akan berakibat fatal apabila dilanggar.di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.Tentu saja tradisi seperti itu sangat membelenggu masyarakatnya, tidak ada pengetahuan masuk ke dalam lingkungan ini. hanya suku baduy luar yang sedikit dapat menerima pengaruh dari luar.
dalam hal perkawinan pun tidak ada kebebasan di dalam suku ini, Pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Dalam suku ini tidak mengenal poligami dan perceraian, sehingga diperbolehkan menikah kembali hanya apabila salah satu pasangannya ada yang meninggal.

Struktur dan Bahan Bangunan Rumah Tongkonan

Pada umumnya sistem struktur yang dipakai untuk bangunan Tongkonan adalah sistem konstruksi pasak (knock down)
Beberapa keistimewaan tongkonan di Ke’te’ Kesu’ adalah:
- Katik, bagian depan bentuknya agak berbeda yaitu bentuknya panjang dan ramping.
- Sedangkan tiang kolom, untuk tongkonan yang tertua berjumlah 7 buah, berjajar pada bagian lebar bangunan. Tiang kolom pada alang seluruhnya berjumlah 8 buah, dengan 2 kolom berjajapada bagian lebar bangunan dan 4 kolom ke arah belakang/ bagian panjang bangunan.
- Bangunan/Tongkonan yang tertua mempunyai struktur bangunan yang lebih rendah daripada tongkonan yang baru dengan bentuk tiang kolom empat persegi.
Bentuk dari Tongkonan dapat dibagi menjadi:

a. Bagian kolong rumah (sulluk banua)
· Pondasi: pondasi yang digunakan adalah dari batuan gunung, diletakkan bebas di bawah Tongkonan tanpa pengikat antara tanah, kolom dan pondasi itu sendiri.
· Kolom/tiang (a’riri): tiang terbuat dari kayu uru, sedangkan untuk alang digunakan kayu nibung, sejenis pohon palem. Bentuk kolomnya persegi empat, pada alang bentuknya adalah bulat. Perbedaan bentuk tersebut menunjukkan perbedaan dari fungsi bangunan, yaitu Tongkonan untuk manusia, sedangkan alang untuk barang (padi). Penggunaan kayu nibung dimaksudkan agar tikus tidak dapat naik ke atas, karena serat kayu ini sangat keras dan sapat sehingga terlihat licin.
· Balok: sebagai pengikat antara kolom-kolom digunakan balok-balok dengan fungsi seperti sloof, yang dapat mencegah terjadinya pergeseran tiang dengan pondasi. Hubungan balok dengan kolom digunakan sambungan pasak, disini tidak dipergunakan sambungan paku/baut. Bahan yang digunakan adalah kayu uru. Jumlah baloknya ada 3 buah, sedangkan pada alang hanya 1 buah, yaitu sebagai pengikat pada bagian bawah. Tangga menggunakan kayu uru.

b. Bagian Badan rumah
· Lantai: pada Tongkonan terbuat dari papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai. Disusunya pada arah memanjang sejajar balok utama. Sedangkan untuk alang terbuat dari kayu banga.
· Dinding: pada Tongkonan dinding disusun satu sama lain dengan sambungan pada sisi-sisi papan dengan pengikat utama yang dinamakan Sambo Rinding.
Dinding yang berfungsi sebagai rangka menggunakan kayu uru atau kayu kecapi. Sedangkan dinding pengisinya menggunakan kayu enau.

c. Bagian kepala
· Atap: pada Tongkonan terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun tumpang tindih yang dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali bamboo/rotan. Fungsi dari susunan demikian adalah untuk mencegah masuknya air hujan melalui celah-celahnya. Fungsi lain adalah sebagai ventilasi, karena pada Tongkonan tidak terdapat celah pada dindingnya.
Susunan bambu di taruh di atas kaso yang terdapat pada rangka atap. Susunan tampak (overstek) minimal 3 lapis, maximal 7 lapis, setelah itu disusun atap dengan banyak lapis yang tidak ditentukan, hanya mengikuti bentuk rangka atap sehingga membentuk seperti perahu.
Fungsi dari Tolak Somba adalah untuk menunjang/menopang agar Longa tidak runtuh/turun. Sangkinan Longa adalah sebagai keseimbangan dari Longa. Semakin panjang Longanya maka jumlah Sangkinan Longanya pun semakin banyak.
· Dinding: susunanya seperti dinding pada bagian kepala badan.

Tata Ruang Dalam
Pola tata ruang dalam pada badan rumah (Kale Banua) pada Tongkonan di Kete’ terbagi atas 3 ruang utama. Ruang-ruang tersebut mempunyai fungsi sesuai dengan urutan daru Utara ke Selatan, masing-masing:

a. Tangdo: ruang ini terletak di sebelah Utara berfungsi sebagai ruang tidur nenek, kakek, dan anak laki-laki. Ruang ini terletak di Utara karena pengawasan terhadap anggota keluarga lebih terjaga. Orang tua/kakek-nenek sebagai orang yang dituakan.
Jendela pada ruang Tangdo berjumlah 2 buah yang menghadap Utara. Peil lantai pada ruang Tangdo sama dengan ruang sumbung dan tidak terdapat ornamen.

b. Sali: ruang ini terletak di tengah bangunan yang berfungsi sebagai ruang tamu, dapur, wc, tempat/ruang persemayaman jenazah, dan ruang keluarga.
Ruang Sali: yang diperbolehkan masuk hanya kerabat dekat dari keluarga dan tetua-tetua adat. Pada ruang Sali ini dindingnya berwarna hitam, disebabkan oleh jelaga yang timbul pada waktu memasak dan asap yang berasal dari tungku, jelaga ini bermanfaat sebagai bahan pengawet kayu.
WC: terbuat dari batu yang berbentuk oval dan agak cekung, lalu diberi lubang, terletak di sebelah Timur, di samping kanan tungku. WC ni berfungsi untuk buang air kecil bagi ibu-ibu dan anak-anak di malam hari.
Ruang persemayaman jenazah: ruang Sali ini berfungsi juga sebagai ruang persemayaman jenazah di letakan disini menunggu urusan yang ditinggalkan si mati selesai.
Peletakkan pintu masuk di sebelah Utara atau Timur karena nenek moyang mereka berasal/dating dari arah Utara, juga arah angin yang dating selalu dari arah Utara, Utara mempunyai arti kebaikan. Pintu yang terletak disebelah Timur mempunyai arti kebahagiaan dan keceriaan disesuaikan dengan arah terbitnya matahari, dari sebelah timur. Fungsi pintu selain sebagai tempat keluar masuk manusia/penghuni juga dipakai sebagai jalan keluar bagi jenazah pada saat pemakaman.

c. Sumbung: fungsinya sebagai ruang tidur orang tua dan anak-anak yang masih menyusui serta anak-anak gadis, dan tempat menyimpan alat-alat serta harta pusaka. Peil lantai ditinggikan, yang menandakan bahwa penghuni Tongkonan mempunyai kekuasaan dan derajat yang tinggi pada wilayah tersebut.
Sumbung berada di Selatan karena anak gadis dan anak yang masih kecil perlu pengawasan yang ketat, dengan perlindungan dari anak laki-laki yang bertempat di Tangdo dan orang tua.

Ornamen dan Warna
Motif-motif ornament pada bangunan Toraja mengambil bentuk-bentuk dasar: hewan, tumbuhan dan benda langit, demikian pula di Kete’ Kesu’ ini.
Motif hewan melambangkan kekuatan dan kekuasaan, contoh:
· Ayam jantan: berkokok jam 5 pagi melambangkan kehidupan
· Kepala kerbau: menunjukan prinsip yang kokoh.
Motif tumbuhan melambangkan kemakmuran, contoh:
· Lumut: menandakan sawah sebagai sumber kehidupan
Motif benda langit melambangkan kekuasaan Tuhan, contoh:
· Matahari: sebagai sumber cahaya (terang) dalam kehidupan
Sedangkan warna dasar (kasemba) terdiri dari 4 warna, yaitu:
· Merah: berani berkorban
· Kuning: keagungan
· Hitam: berani berbuat baik
· Putih: mandiri
Jumlah motif ornament yang umum digunakan sekarang kurang lebih 74 jenis, akrena motif-motif yang lain dianggap terlalu berat untuk digunakan/diamalkan. Contoh: Pa Kadang Sepru (beras) melambangkan putusnya hubungan kekerabatan.